MOHAMMAD NATSIR
Catatan ini saya dapatkan pada
majalah ALMUSLIMUN
No. 198-Th XVII (33) Muharram
1407/Dzulhijjah 1406 H-September 1986
Satu tahun terakhir ini saya (
kata M. Amin Rais) mendatangi tiga seminar international: pertama, seminar perdamaian yang diadakan oleh Mu’tamar Alam Islami
di Islam Abad, Pakistan. Kedua, seminar
antar agama di Casablanca, Maroko dan ketiga,
seminar Islam International di Kualalumpur, Malaysia.
Satu hal yang sama yang selalu
ditanyakan kepada saya oleh berbagai delegasi dalam seminar-seminar itu adalah:
“Bagaimana
kabar Dr. Natsir sekarang?” dan
biasanya di ikuti dengan kata-kata: “sampaikan salam saya padanya”.
Pada momen-momen seperti itu.. –masih kata M. Amin Rais…- saya menjadi makin menyadari bahwa tokoh tua kita Moh. Natsir, barangkali bisa disebut “ The second grand old
man” setelah H. Agus Salim, memang sangat tenar di dunia Islam. Bukan saja
kedudukannya sebagai salah seorang tokoh puncak Rabithah Alam Islam dan pemilik
“Chair” untuk studi Islam di Universitas Oxford, tapi, Nampak dalam usaha
da’wah Islam telah menyebabkan nama Natsir
selalu bergaung di dunia Islam.
Kesan saya …, ( kata M. Amin
Rais) pak Natsir dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah,
kesederhanaannya merupakan sifat menonjol yang melekat pada beliau, sebagai
bekas perdana mentri dan tokoh Islam International yang tetap aktif. Ketika
beliau (M. Natsir) dikeluarkan dari tahanan orde lama, pak Natsir menghadapi
masalah “ mencari rumah” nampaknya ketika
menjadi mentri penerangan dan perdana
mentri serta ketika memimpin Partai Masyumi dulu, beliau tidak sempat memikirkan rumah.
Inilah M. Natsir, agaknya merupakan manusia langka di zaman sekarang ini.
Bahkan.. ( kata M. Amin Rais),
suatu ketika pernah terjadi.. Pak Muis (
tokoh ummat di Banjarmasin yang juga merupakan salah satu teman dekat M. Natsir
) kehabisan bekal di Jakarta sewaktu mau
pulang ke Banjarmasin . Merasa sebagai sahabat pak Muis mencoba meminjam uag
kepada Pak Natsir yang ketika itu sebagai perdana mentri. Apa jawaban Pak Natsir??
“ kalau mau pinjam uang pribadi kebetulan
saya tidak punya. Tapi, saudara bisa
pinjam uang dari majalah hikmah yang saya pimpin. Nanti pinjaman itu
diperhitungkan dengan majalah hikmah”
Dari sini dapat difahami kenapa
pak Natsir memperoleh kepercayaan Internasional begitu besar, amanat apapun menjadi ama lewat tangannya.
Bahkan mendiang pak Ali Murtopo pernah
meminta pak Natsir untuk menulis surat ke suatu Negara Timur Tengah agar
mempermudah pelaksanaan Pinjaman bagi Republik Indonesia. Permintaan itupun
dilakukan dengan ikhlas, dan berhasil..
Pada th. 1967 sewaktu saya masih
mahasiswa ( masih kata M. Amin Rais),
saya pernah berdesakan di Sitihinggil
pagelaran, kampus UGM untuk mendengar ceramah pak Natsir yang baru saja keluar
dari Wisma Keagungan , rumah tahanan orde lama di Madiun. Saya masih ingat
ketika itu berebut kursi dengan sdr. Yahya Muhaimin. Saya dan teman-teman
mengharapkan pak Natsir akan mendamprat dan mengkritik pedas orde lama, sesuai
dengan semangat para mahasiswa waktu itu.
Ternyata kami keliru, tidak
sedikitpun ada keritik tajam, apalagi dampratan yang kami ramalkan, hanya kami
diingatkan agar pandai-pandai belajar
dari sejarah. Beliau tak mau menoleh kebelakang terlalu lama, menatap masa
depan jauh lebih penting.
Waktu itu isyu penting di
berbagai surat kabar adalah de-ideologisasi sebagai prasyarat modernisasi.
Ideologi dituding banyak tokoh intelektual sebagai sumber malapetaka. Yang
penting itu program. Adu program paling
baik untuk pembangunan dan isyu-semacamnya.
Ketika kami para mahasiswa sedang asyik terbuai
dengan isyu de-ideologisasi, depolitisasi, deparpolisasi dan pentingnya
program, pak Natsir dalam ceramah di
Sithinggil itu kira-kira berakata: “ingat,
ideology dan program adalah two sides of
the same coin, dua sisi dari
satu mata uang yang sama. Karena -lanjut
pak Natsir..- manusia bukan robot, ia tidak mungkin hidup hanya dengan ideology
tanpa program atau hanya dengan program tanpa ideologi”. Kata-kata yang di
formulasikan sangat sederhana ini merupakan “eyesopener”
sehingga lantas dapat melihat masalah dengan jernih.
Dalam kesempatan informal
beberapa tahun yang lalu .. ( kata M. Amin Rais) di Yogyakarta, ketika pak
Natsir mengunjungi almarhum pak A.R. Baswedan, kami sempat berbincang dengan
beliau. Salah satu komentar yang menarik
dari pak Natsir adalah perlunya kerjasama
yang baik antara para cendikiawan Muslimdr berbagai kampus dengan para kiyai di
daerah pedesaan.
Ummat Islam di pedesaan perlu
sekali memperoleh bimbingan dan merekalah yang menjadi “grassroots”. Fungsi para kiyai menentukan untuk kemajuan ummat
pada level ”grassroots” itu, sehingga harus ada “Partnership” yang
harmonis antara para kiyai dan kaum cendikiawan. Harus dihindarkan orientasi
elitis dari ara cendikiawan kita. Mereka tidak boleh hidup di menara gading
dari seminar ke seminar, dari proyek ke proyek, mereka perlu turun ke bawah dan
ikut membangun serta mencerdaskan kehidupan ummat di bawah.
Soal lain yang cukup menarik yang
di kemukakan pak Natsir ketika itu, adalah bahwa dalam berusaha membuat amal
shaleh yang besar, kita harus cekatan dalam membangun kerjasama ummat. Jangan
ada yang ditinggalkan. Istilahnya, rumput keringpun pasti ada manfaatnya.
Masalahnya, bagaimana kita harus menempatkan rumput kering itu paa fungsi yang
pas. Kita cenderung mudah retak karena teman kita yang kita harapkan untuk
bekerja sama berbeda jalan atau berbeda ijtihad. Lantas kita simpulkan bahwa
ke-Islaman mereka kurang dan lain sebagainya. Pak Natsir mengatakan bahwa dalam
suatu perjalanan yang jauh, tidak semua orang dapat sampai ke garis finish. Ada
yang baru seperempat jalan lututnya sudah lemah, ada yang sampai setengah jalan
dan ada yang mampu mencapai garis akhir. Jadi tergantung kekuatan masing-masing
dan ijtihad mereka harus dihormati.
Dalam pandangan saya, ( kata M.
Amin Rais) Mohammad Natsir adalah contoh
seorang democrat par excellence.
Tidak saja seperti pendapat Herbert Feith bahwa Natsir adalah democrat dan
administrator atau “problem-solver” dalam masalah-masalah kenegaraan seperti
halnya Mohammad Hatta dan Syahrir, tetapi sikap demokratik pak Natsir itu
tercermin dalam kehidupan sehari-hari.