Lot of Visitors

Kamis, 07 Mei 2015

Mohammad Natsir



MOHAMMAD NATSIR
Catatan ini saya dapatkan pada majalah ALMUSLIMUN
No. 198-Th XVII (33) Muharram 1407/Dzulhijjah 1406 H-September 1986
Satu tahun terakhir ini saya ( kata M. Amin Rais) mendatangi tiga seminar international: pertama, seminar perdamaian yang diadakan oleh Mu’tamar Alam Islami di Islam Abad, Pakistan. Kedua, seminar antar agama di Casablanca, Maroko dan ketiga, seminar Islam International di Kualalumpur, Malaysia.
Satu hal yang sama yang selalu ditanyakan kepada saya oleh berbagai delegasi dalam seminar-seminar itu adalah: “Bagaimana kabar Dr. Natsir sekarang?”  dan biasanya di ikuti dengan kata-kata: “sampaikan salam saya padanya”.
Pada momen-momen seperti itu.. –masih kata M. Amin Rais…-  saya menjadi  makin menyadari bahwa tokoh tua kita Moh. Natsir,  barangkali bisa disebut “ The second grand old man” setelah H. Agus Salim, memang sangat tenar di dunia Islam. Bukan saja kedudukannya sebagai salah seorang tokoh puncak Rabithah Alam Islam dan pemilik “Chair” untuk studi Islam di Universitas Oxford, tapi, Nampak dalam usaha da’wah Islam telah menyebabkan nama Natsir selalu bergaung di dunia Islam.
Kesan saya …, ( kata M. Amin Rais) pak Natsir dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah, kesederhanaannya merupakan sifat menonjol yang melekat pada beliau, sebagai bekas perdana mentri dan tokoh Islam International yang tetap aktif. Ketika beliau (M. Natsir) dikeluarkan dari tahanan orde lama, pak Natsir menghadapi masalah “ mencari rumah” nampaknya ketika menjadi mentri penerangan  dan perdana mentri serta ketika memimpin Partai Masyumi  dulu, beliau tidak sempat memikirkan rumah. Inilah M. Natsir, agaknya merupakan manusia langka di zaman sekarang ini.
Bahkan.. ( kata M. Amin Rais), suatu ketika pernah terjadi..  Pak Muis ( tokoh ummat di Banjarmasin yang juga merupakan salah satu teman dekat M. Natsir )  kehabisan bekal di Jakarta sewaktu mau pulang ke Banjarmasin . Merasa sebagai sahabat pak Muis mencoba meminjam uag kepada Pak Natsir yang ketika itu sebagai perdana mentri. Apa jawaban Pak Natsir?? “ kalau mau pinjam uang pribadi kebetulan saya tidak punya. Tapi, saudara bisa pinjam uang dari majalah hikmah yang saya pimpin. Nanti pinjaman itu diperhitungkan dengan majalah hikmah” 
Dari sini dapat difahami kenapa pak Natsir memperoleh kepercayaan Internasional begitu besar,  amanat apapun menjadi ama lewat tangannya. Bahkan mendiang pak Ali Murtopo  pernah meminta pak Natsir untuk menulis surat ke suatu Negara Timur Tengah agar mempermudah pelaksanaan Pinjaman bagi Republik Indonesia. Permintaan itupun dilakukan dengan ikhlas, dan berhasil..
Pada th. 1967 sewaktu saya masih mahasiswa  ( masih kata M. Amin Rais), saya pernah berdesakan di  Sitihinggil pagelaran, kampus UGM untuk mendengar ceramah pak Natsir yang baru saja keluar dari Wisma Keagungan , rumah tahanan orde lama di Madiun. Saya masih ingat ketika itu berebut kursi dengan sdr. Yahya Muhaimin. Saya dan teman-teman mengharapkan pak Natsir akan mendamprat dan mengkritik pedas orde lama, sesuai dengan semangat para mahasiswa waktu itu.
Ternyata kami keliru, tidak sedikitpun ada keritik tajam, apalagi dampratan yang kami ramalkan, hanya kami diingatkan agar pandai-pandai belajar dari sejarah. Beliau tak mau menoleh kebelakang terlalu lama, menatap masa depan jauh lebih penting.
Waktu itu isyu penting di berbagai surat kabar adalah de-ideologisasi sebagai prasyarat modernisasi. Ideologi dituding banyak tokoh intelektual sebagai sumber malapetaka. Yang penting itu program.  Adu program paling baik untuk pembangunan dan isyu-semacamnya.
Ketika  kami para mahasiswa sedang asyik terbuai dengan isyu de-ideologisasi, depolitisasi, deparpolisasi dan pentingnya program,  pak Natsir dalam ceramah di Sithinggil itu kira-kira berakata: “ingat, ideology dan program adalah two sides of the same coin,  dua sisi dari satu mata uang yang sama. Karena  -lanjut pak Natsir..- manusia bukan robot, ia tidak mungkin hidup hanya dengan ideology tanpa program atau hanya dengan program tanpa ideologi”. Kata-kata yang di formulasikan sangat sederhana ini merupakan “eyesopener” sehingga lantas dapat melihat masalah dengan jernih.
Dalam kesempatan informal beberapa tahun yang lalu .. ( kata M. Amin Rais) di Yogyakarta, ketika pak Natsir mengunjungi almarhum pak A.R. Baswedan, kami sempat berbincang dengan beliau. Salah satu komentar  yang menarik dari pak Natsir adalah perlunya kerjasama yang baik antara para cendikiawan Muslimdr berbagai kampus dengan para kiyai di daerah pedesaan.
Ummat Islam di pedesaan perlu sekali memperoleh bimbingan dan merekalah yang menjadi “grassroots”. Fungsi para kiyai menentukan untuk kemajuan ummat pada level ”grassroots”  itu, sehingga harus ada “Partnership” yang harmonis antara para kiyai dan kaum cendikiawan. Harus dihindarkan orientasi elitis dari ara cendikiawan kita. Mereka tidak boleh hidup di menara gading dari seminar ke seminar, dari proyek ke proyek, mereka perlu turun ke bawah dan ikut membangun serta mencerdaskan kehidupan ummat di bawah.
Soal lain yang cukup menarik yang di kemukakan pak Natsir ketika itu, adalah bahwa dalam berusaha membuat amal shaleh yang besar, kita harus cekatan dalam membangun kerjasama ummat. Jangan ada yang ditinggalkan. Istilahnya, rumput keringpun pasti ada manfaatnya. Masalahnya, bagaimana kita harus menempatkan rumput kering itu paa fungsi yang pas. Kita cenderung mudah retak karena teman kita yang kita harapkan untuk bekerja sama berbeda jalan atau berbeda ijtihad. Lantas kita simpulkan bahwa ke-Islaman mereka kurang dan lain sebagainya. Pak Natsir mengatakan bahwa dalam suatu perjalanan yang jauh, tidak semua orang dapat sampai ke garis finish. Ada yang baru seperempat jalan lututnya sudah lemah, ada yang sampai setengah jalan dan ada yang mampu mencapai garis akhir. Jadi tergantung kekuatan masing-masing dan ijtihad mereka harus dihormati.
Dalam pandangan saya, ( kata M. Amin Rais)  Mohammad Natsir adalah contoh seorang democrat par excellence. Tidak saja seperti pendapat Herbert Feith bahwa Natsir adalah democrat dan administrator atau “problem-solver” dalam masalah-masalah kenegaraan seperti halnya Mohammad Hatta dan Syahrir, tetapi sikap demokratik pak Natsir itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari.